Teach Write Learn

 

Buku Untuk Ima

10 komentar

 

Buku Ima

Aura wajah gadis kecil itu menusuk mata hati setiap orang yang melihat. Namun ia berhasil menutupinya dengan keceriaan. Menggoda adiknya dengan mengumbar tawa yang jenaka. Tak tersimpan lelah meski tubuhnya terkadang oleng oleh pukulan manja adiknya.

Gadis ceria yang bermata coklat dengan kulit sawo yang terlalu matang, berambut lurus merah. Sama seperti adiknya yang juga terlihat kumal. Ima nama gadis ceria itu, usianya belum genap sepuluh tahun, terpaut tiga tahun dengan adiknya, Ira.

Ima anak yatim yang tinggal di sekitar terminal Kota Depok. Di dekat bangunan pusat perbelanjaan, agak sedikit ke bawah, di samping jajaran pedagang-pedagang kaki lima, nah di sanalah Ima tinggal.

Rumahnya hanyalah sekotak papan nyaris mirip kios pedagang kaki lima, tak lebih dari dua kali tiga meter. Terkadang ia dan ibu serta adiknya tinggal di dalam mushola kecil di sekitar terminal bila hujan mendera. Derasnya hujan membuat rumah utamanya itu menjadi tak cukup nyaman untuk mereka bertiga.

Tak jauh di seberang terminal, tepatnya di samping Plaza Depok, terdapat kawasan perumahan elit yang hampir selama dua belas jam selalu melintas ramai mobil mewah, keluar masuk kompleks perumahan. Terlihat kontras, namun menjadi suatu pemandangan yang sudah biasa dikesibukan jantung Kota Depok.

Di perumahan elit itu Ibu Ima bekerja, tapi bukan sebagai pembantu seperti kebanyakan pekerjaan ibu-ibu kelas bawah lainnya. Beliau membantu anak-anak orang kaya perumahan elit mengaji. Ibu Inah biasanya orang-orang terminal memanggilnya.

Kehidupan mereka memang seperti gelandangan, tapi jiwa mereka seperti malaikat di gersangnya terminal Kota Depok. Malaikat yang mampu menebar keceriaan di tengah kemuraman hidup.

Bapak Ima telah lama meninggal, sakit yang tak terobati karena ketiadaan biaya. Dulu saat Bapak mereka masih hidup tidak membuat keadaan seperti sekarang, mencari sesuap nasi dari sang ibu seorang. Meski bapak Ima hanyalah seorang pedagang asongan, tapi sepertinya lebih baik bila ada dua orang pencari nafkah.

Mereka sekeluarga taat beragama. Hanya itu harta berharga turun-temurun yang mereka punyai. Sejumput doa dan segenggam harapan. Berharap hidup dari keikhlasan orang-orang perumahan elit yang mendapat buah ilmu mengaji dari sang Ibu.

“Ima, tolong jaga Adikmu dulu ya,” ucap bu Inah, tersenyum, mengelus rambut jagung Ima yang tampak kusut.

“Ya, Bu,” jawab Ima cepat. Tak ingin mengecewakan ibu.

Begitulah sehari-hari Ima mendapat tugas bila sang ibu pergi menebar ilmu mengaji di perumahan elit mentereng itu. Bu Inah tak berani membawa serta Ima dan adiknya. Mungkin ingin bersikap profesional atau hanya khawatir sorotan tajam mata anak-anak perumahan elit yang suka membuat Ira menangis.

Kalau sudah dapat tugas dari ibu, kadang Ima seharian bermain bersama sang adik. Kadang menyempatkan diri datang ke sekolah khusus anak-anak kurang mampu yang masih berada di dalam kawasan terminal Kota Depok tersebut, tentunya bersama adiknya. Atau berada di kios buku bekas milik mbah Kodir, untuk hal yang satu ini hampir setiap waktu dilakukannya.

Ima Senang Sekali Membaca


Ima gemar sekali membaca. Membaca apa saja. Kios buku bekas itu menjadikannya tempat favorit Ima. Kalau tak membaca majalah, pastinya ada saja buku yang mbah Kodir berikan hanya untuk sekedar dibacanya

“Tidak untuk dibawa pulang,” ucap mbah Kodir lembut suatu kali ketika Ima sepertinya tertarik akan suatu buku bergambar istana dan putri salju yang hampir seluruhnya lecek itu. Tersirat dari mata mbah Kodir kalau ingin sekali rasanya ia memberi buku bacaan baru yang tidak lecek dan berantakan kepada Ima, sedih hati mbah Kodir bila ia tak sengaja melihat Ima menata ulang halaman buku yang telah semrawut sebelum membacanya, lama, hingga terkadang tidak jadi dibacanya karena banyak yang harus dirapihkan ulang.

Mbah Kodir pun mempunyai kesukaan yang sama dengan Ima, gemar membaca. Karena alasan itu juga lah mengapa ia membuka kios buku, meski hanya kios buku bekas sempit di pinggir terminal.

Ima sempat merasakan peringkat pertama di kelas empat sekolah dasar di sebuah sekolah negeri favorit di Kota Depok ketika masih ada beasiswa untuk anak miskin yang cerdas. Sekolah bagus ia menyebutnya. Hingga akhirnya hanya harus meneruskan di sekolah terminal, tempat anak-anak kurang mampu lainnya bersekolah. Sekolah yang benar-benar gratis tanpa perlu membayar lantaran beasiswa tak sampai lagi kepadanya.

Hal itu tak membuatnya merasa malu, yang penting ia bisa terus bersekolah, itu yang ada dalam pikiran Ima. Meski teman-teman sewaktu ia masih berada di sekolah bagus itu terkadang mengejeknya, tapi Ima sepertinya sibuk dengan hobinya membaca hingga tak terlintas di pikirannya untuk merasa kesal apalagi dendam.

Mbah Kodir menjadi pahlawan ilmunya. Dari mbah Kodir yang ternyata masih saudara jauh ibunya itu, Ima dapat mencerahkan otaknya yg memang sudah cemerlang. Mbah Kodir selalu memberinya kesempatan membaca buku di kiosnya, untuk Ima selalu gratis. Tidak perlu membeli atau menyewanya. Mbah Kodir tidak punya anak, istrinya pun telah lama tiada.

“Ini ada buku bagus untuk kamu, Ima, tentang pengetahuan umum, pasti kamu suka. Kamu boleh membacanya, tapi jangan sampai lecek ya!” Ucap mah Kodir, memperkenalkan buku terbarunya kepada Ima, penuh semangat.

 “Terima kasih Mbah Kodir, Ima akan baca sekarang, tanpa lecek!” Ujar Ima sedikit berteriak, bersemangat, bangun dari posisi duduknya dengan melompat kegirangan, matanya berbinar, senyumnya merekah menyiratkan ketakjuban.

Meski buku-buku itu bekas, tapi mbah Kodir selalu pintar menyulapnya menjadi buku yang layak baca kembali. Meski memang sudah lecek dan kucel mbah Kodir tetap selalu mengingatkan Ima untuk tetap menjaganya. Hal itu sangat berpengaruh untuk harga jual buku bekas tersebut.

Semakin tampilannya bagus akan semakin berani orang membelinya dengan harga mahal. Kalau perlu mbah Kodir seterika untuk meluruskan kertas-kertasnya. Yang pastinya Ima selalu membantu membuat penampilan buku bekas mbah Kodir hingga menjadi layak baca kembali, tentunya dengan upah membaca gratis setiap harinya.

Ima merasa menjadi anak paling beruntung di dunia meski ia tak bisa merasakan kembali duduk di bangku sekolah yang mahal, karena menurutnya dengan hanya membaca saja ia sudah merasa bisa menjadi pintar dan bahagia. Tak banyak memang anak yang seberuntung Ima. Banyak anak orang kaya seperti Wulan misalnya, teman sekelasnya dulu, yang bisa membeli puluhan bahkan ratusan buku bagus, tapi malas membaca.

Ada juga anak cerdas seperti Deon yang tidak punya banyak kesempatan membaca gratis di kios mbah Kodir karena memang tidak kenal dengan mbah Kodir. Hal-hal seperti itu yang membuat Ima bersyukur. Deon yang mengambil alih peringkat kelasnya setelah Ima tidak lagi berada di sekolah bagus itu. Deon anak yang baik, ingin rasanya Ima memperkenalkannya dengan mbah Kodir kalau saja rumahnya dekat. Ia selalu terus bersyukur hingga Tuhan memberinya kebahagiaan, meski hanya sebuah kebahagiaan dari buku bekas milik mbah Kodir.

“Tiiinn, tiiinn, tiiinn….” Terdengar klakson mobil angkot bang Jaki membuyarkan lamunan Ima. Betapa kagetnya Ima demi mendapati Ira yang terjatuh.

“Hati-hati Ima, Adikmu bisa terlindas mobil Abang!” ujar Bang Jaki kesal, mengernyitkan dahinya hingga beradu lah kedua alisnya.

“Iya Bang, maafkan Ima,” ucap Ima kaget, tangan kanannya menarik lengan Ira yang lemah dengan sigap. Ira sedang demam hingga membuatnya linglung.

“Copet …copet!” Teriak seorang ibu tengah baya, seorang preman yang masih asing bagi Ima berlari tunggang langgang. Kali ini lolos, wajah ibu itu terkulai lemas demi mendapati tasnya yang tergeletak tanpa dompet di dalamnya. Kasihan. Anak perempuannya juga ternyata kecopetan barang bawaan belanjaannya yang baru saja berbelanja di pusat perbelanjaan Kota Depok.

 “Satu kotak handphone yang baru saja dibeli dan buku novel terbaru,” kata gadis itu menjelaskan pada pak Polisi yang menghampiri mereka.

Kehidupan di terminal membuat Ima hafal benar wajah semua penghuninya, bahkan sampai preman dan pengemis pun Ima hapal. Ia belum juga menemukan siapa pemilik wajah asing pencopet tadi siang. “Pastilah preman itu bukan berasal dari terminal ini,” pikirnya.

Rasa kagetnya kali ini ditambah dengan rasa kekecewaannya yang tidak bisa melakukan ritual hariannya membaca di kios Mbah Kodir. Hal itu lantaran Ima harus menjaga Ira yang demam di rumah papan mereka.

Pagi harinya Ira sudah bisa tersenyum. Ima berniat ke kios mbah Kodir. Tidak buka, sepi. Ima memeriksa keadaan sekeliling sambil sesekali mengamati orang-orang yang keluar dari wc umum yang berada tepat di samping kios mbah Kodir. “Barangkali saja Mbah Kodir ada di wc umum terminal,” pikirnya sekali lagi penuh harap.

Mbah Kodir Ditangkap


 “Ima, kamu sedang apa di sini
? Memangnya kamu belum tahu kalau Mbah Kodir tertangkap polisi?” ujar Bang Jaki yang kebetulan baru keluar dari dalam wc umum terminal.

“Memangnya Mbah Kodir salah apa?” Tanya Ima, terkesiap.

“Mbah Kodir disangka sebagai penadah para pencopet, ibu yang kemarin kecopetan itu secara kebetulan menemukan buku anak gadisnya ada di kios buku bekas Mbah Kodir, ada jejak gambar tempel hello kitty yang di tempelkan oleh anaknya diluar buku itu, tak disangka ibu itu melaporkannya kepada polisi,” jelas bang Jaki lagi.

Ima merasa seperti tersetrum listrik, terkesiap sejenak, tidak terima dengan kenyatan itu. Terlebih ia yakin kalau mbah Kodir tidak bersalah. “Bukannya Bang Jaki juga tahu kalau pencopet itu bukan orang wilayah terminal sini, jadi gak mungkin pencopet itu teman Mbah Kodir,” ucap Ima mulai resah. Hawa dingin mulai menyeruak di dirinya. Cemas.

Tanpa permisi Ima langsung berlari secepat kilat, tujuannya adalah kantor polisi terdekat, yang ada di pikirannya adalah mbah Kodir, hanya mbah Kodir, hingga ia tak menyadari ada taksi yang melesat cepat melintas tepat ke arahnya dan akhirnya terjadilah peristiwa yang tak terelakkan, Ima tertabrak mobil.

Gelap, pekat, Ima merasakan sekujur tubuhnya dipenuhi cairan amis. Matanya masih terpejam namun bau darah segar menusuk-nusuk hidungnya, merobek syaraf-syaraf pembau yang ada di selubung otaknya. Hening.

Beberapa orang yang melihat kejadian itu spontan menolong Ima. Di rumah sakit daerah Kota Depok Ima dirawat. Ia mengalami cedera tulang di bagian lengan kirinya dan beberapa luka di sekujur tubuh mungilnya, butuh waktu yang tidak sedikit untuk memulihkannya.

Ima Tertabrak


Satu minggu berselang sejak kejadian itu, hari itu Ima ingin menghirup udara segar, ibu dan bang Jaki yang kebetulan sedang berada di sana menuruti keinginannya, namun hari itu ada kejadian yang tak biasa, beberapa suster sepertinya tergopoh-gopoh mendorong seorang pasien yang baru saja menjadi korban tabrak lari.

Orang-orang yang menolong menyatakan kalau korban tabrak lari itu telah meninggal, namun para suster membawanya kepada dokter di ruang UGD untuk memastikan. Secara tak sengaja Ima mengamati wajah pasien baru itu yang melintas tepat dihadapannya,

“Pencopet itu... itu... itu... pencopet yang sesungguhnya!” Teriak Ima lantang namun para suster tak menggubris dan tak meyadari karena tengah larut dalam tugas kemanusiaan mereka. Mereka berlalu dengan cepatnya seperti tak mendengar teriakan Ima.

”Pencopet aslinya telah mendapat balasan dari Tuhan,” ucap Ibu lirih.

“Percuma kalau tidak ada bukti, Abang juga sudah mencoba menjelaskan, Abang kehilangan setoran angkot tadi malam demi menemani Mbah Kodir diinterogasi Polisi, Mbah Kodir lagi apes tidak ada yang percaya. Satu-satunya jalan ya kalau ibu yang dicopet itu mencabut tuntutannya,” jelas Bang Jaki.

“Dimana ibu itu tinggal?” Tanya Ima lagi, mulai emosi.

“Ternyata Ibu itu juga bukan orang sini, yang Abang tahu dia mengatakan di depan polisi kalau dia sedang berkunjung ke rumah saudaranya di perumahan elit depan terminal ini, kalau tidak salah nama ibu di perumahan itu Ibu Ridwan,” ucap bang Jaki mulai memasang wajah seriusnya.

“Bu Ridwan yang selalu menggunakan pakaian kebaya?” Pertanyaan bu Inah memotong pembicaraan Ima dan bang Jaki,

“Iya, benar Bu, kok Ibu tahu? Apa Ibu mengenalnya?” Tanya bang Jaki menyelidik bak intel.

“Sepertinya begitu, saya mengajari putrinya mengaji, ada baiknya kalau saya ke rumah Bu Ridwan, mungkin pendapat saya bisa didengar olehnya,” ucap bu Inah membuat keresahan Ima sedikit mereda.

“Ima ikut Bu!” Teriak Ima penuh semangat serasa tak terjadi apa-apa dengan lengan kirinya. Matanya berbinar, senyumnya mulai terbit, merasa mendapat secercah harapan untuk membebaskan mbah Kodir.

Tak berapa lama setelah mereka meminta izin pada perawat. Bersyukurnya perawat menaruh simpati akan cerita Ima dan mengizinkannya untuk keluar beberapa waktu. Mereka pun bergegas ke rumah bu Ridwan.

Tak butuh waktu lama, dengan gayanya yang lembut dan bersahaja bu Inah berhasil menarik simpati bu Rina, saudara dari bu Ridwan, ibu yang kecopetan itu. Setidaknya mereka tidak akan memproses tuntutan mereka lebih jauh. Mereka percaya dengan bu Inah, terlebih bu Inah adalah guru mengaji Mira, putri semata wayang bu Ridwan.

“Oh, betapa Ibu memang seorang yang pantas dipercaya,” ucap Ima dalam hati. Baru kali ini Ima merasakan dengan sangat kalau ibunya benar-benar menjelma menjadi malaikat penolong. Hanya dalam hitungan menit mereka meluncur ke Polsek Kota Depok

Hello Kitty Tersenyum Kepadaku

“Jadi, anak ini yang Bapak maksudkan itu?” Tanya pak Polisi kepada mbah Kodir sambil memandang Ima, lantas tersenyum lega.

“Apa maksud Pak Polisi bertanya seperti itu?” Tanya ibu Inah cepat.

“Menurut penjelasan Mbah Kodir bahwa ia mengambil buku yang hampir dibuang oleh seseorang ke dalam tong sampah untuk anak yang bernama Ima. Kami sedang memproses alasannya itu. Meski kami percaya, tapi semua perlu proses. Alhamdulillah kalian sudah bisa mencabut tuntutan, jadi tidak perlu ada pemeriksaan lebih lanjut lagi,” jelas pak Polisi kepada mereka semua.

“Maksudnya, buku itu untuk anak saya, Ima?” Tanya bu Inah memastikan.

“Ya Bu Inah, saya sudah tanyakan pada pemuda yang tidak saya kira seorang pencopet itu, saya mengatakan kalau sebaiknya buku itu untuk saya saja daripada dibuang, pemuda itu mempersilahkan karena katanya ia tidak suka akan buku yang dihadiahkan temannya itu. Hanya itu saja. Yang ada dalam pikiran saya saat itu cuma buku untuk Ima, masih baru dan disegel meski memang ada gambar tempel hello kitty nya dibagian plastik pembungkus, saya pikir Ima pasti suka. Toh Ima gak pernah baca buku baru, yang lecek- lecek saja dari toko buku bekas saya,” jelas mbah Kodir pelan kepada bu Inah sambil menatap Ima tulus.

“Jadi…semua penjelasannya mbah Kodir itu benar adanya ya? Maafkan kami. Semalam Mbah Kodir bercerita banyak tentang gadis kecil, yang ternyata kamu, Ima. Kami pikir itu hanya alasannya saja untuk berkelit dari jerat hukum,” ucap gadis pemilik buku itu, ada sebongkah penyesalan tersirat di mata beningnya.

 “Ya, maafkan kami,” ucap bu Rina menambahkan, ikut menunduk malu.

Ima terharu, tak disangka semua yang dilakukan mbah Kodir karena semata untuk dirinya. Meski semuanya berakhir baik tapi tetap saja Ima meneteskan beberapa butir air mata. Sekuat-kuatnya Ima menahan kesedihan di hidupnya tapi tidak untuk rasa haru akan kebaikan mbah Kodir kepadanya.

“Maafkan Mbah ya Ima, Mbah tidak bermaksud memberikan kamu buku curian, Mbah benar- benar tidak tahu kalau ternyata itu buku curian.” Ucap mbah Kodir tulus.

“Buku ini akan tetap menjadi milikmu Ima, seperti niat awal Mbah Kodir.” Ucap gadis pemilik buku itu yang baru Ima tahu ternyata bernama Dea.

Ima tersenyum, kali ini bukan karena sebuah buku dimana ia sangat gemar membacanya, tapi tentunya karena bebasnya mbah Kodir. Tersenyum akan ketulusan mbah Kodir yang selalu mendukungnya membaca. Ima tak akan pernah melupakan peristiwa itu. Ia menatap buku yang menjadi permasalahan selama ini. Senyumnya merekah melihat gambar Hello Kitty yang seraya membalas senyuman indahnya itu.

           

                                     

 

 

 

Maulina Ismaya Dewi
Seorang ibu dari tiga orang anak, dan guru di sekolah yang mencintai dunia literasi. Pembelajar yang terus belajar untuk peningkatan kualitas diri, dan agar bermanfaat bagi sesama dunia akhirat. Berharap menggapai Husnul Khotimah, dan taman surga terindah.

Related Posts

10 komentar

  1. Itu design gambarnya pake canva juga, Mbak? Kok,bagus banget.

    BalasHapus
  2. duh aku salfok sama gambar-gambarnya, ini mesti dah pakai canva pro yah ><

    BalasHapus
  3. masya Allah kisahnya luar biasa, ima gadis kecil meski dalam keterbatasan tapi tetap bahagia dengan membaca. semoga anak-anakku juga suka baca.

    BalasHapus
  4. kartunnya bagus mba, berapa jam bikin kayak gitu kalau boleh tau?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ga tentu mba, tergantung, klo kebawa suasana coba2 beragam gambar jadi lamaaaa, tp klo sdh ada gambar yg pasti bisa cepat sekitaran 20 menitan upload2 gambar n edit2 kata dll

      Hapus

Posting Komentar