Aura wajah gadis kecil itu menusuk mata hati setiap orang
yang melihat. Namun ia berhasil menutupinya dengan keceriaan. Menggoda adiknya
dengan mengumbar tawa yang jenaka. Tak tersimpan lelah meski tubuhnya terkadang
oleng oleh pukulan manja adiknya.
Gadis ceria yang bermata coklat dengan kulit sawo yang
terlalu matang, berambut lurus merah. Sama seperti adiknya yang juga terlihat
kumal. Ima nama gadis ceria itu, usianya belum genap sepuluh tahun, terpaut
tiga tahun dengan adiknya, Ira.
Ima anak yatim yang tinggal di sekitar terminal Kota Depok.
Di dekat bangunan pusat perbelanjaan, agak sedikit ke bawah, di samping jajaran
pedagang-pedagang kaki lima, nah di sanalah Ima tinggal.
Rumahnya hanyalah sekotak papan nyaris mirip kios pedagang
kaki lima, tak lebih dari dua kali tiga meter. Terkadang ia dan ibu serta
adiknya tinggal di dalam mushola kecil di sekitar terminal bila hujan mendera.
Derasnya hujan membuat rumah utamanya itu menjadi tak cukup nyaman untuk mereka
bertiga.
Tak jauh di seberang terminal, tepatnya di samping Plaza
Depok, terdapat kawasan perumahan elit yang hampir selama dua belas jam selalu
melintas ramai mobil mewah, keluar masuk kompleks perumahan. Terlihat kontras,
namun menjadi suatu pemandangan yang sudah biasa dikesibukan jantung Kota
Depok.
Di perumahan elit itu Ibu Ima bekerja, tapi bukan sebagai
pembantu seperti kebanyakan pekerjaan ibu-ibu kelas bawah lainnya. Beliau
membantu anak-anak orang kaya perumahan elit mengaji. Ibu Inah biasanya
orang-orang terminal memanggilnya.
Kehidupan mereka memang seperti gelandangan, tapi jiwa
mereka seperti malaikat di gersangnya terminal Kota Depok. Malaikat yang mampu
menebar keceriaan di tengah kemuraman hidup.
Bapak Ima telah lama meninggal, sakit yang tak terobati
karena ketiadaan biaya. Dulu saat Bapak mereka masih hidup tidak membuat
keadaan seperti sekarang, mencari sesuap nasi dari sang ibu seorang. Meski bapak
Ima hanyalah seorang pedagang asongan, tapi sepertinya lebih baik bila ada dua
orang pencari nafkah.
Mereka sekeluarga taat beragama. Hanya itu harta berharga
turun-temurun yang mereka punyai. Sejumput doa dan segenggam harapan. Berharap
hidup dari keikhlasan orang-orang perumahan elit yang mendapat buah ilmu
mengaji dari sang Ibu.
“Ima, tolong jaga Adikmu dulu ya,” ucap bu Inah, tersenyum,
mengelus rambut jagung Ima yang tampak kusut.
“Ya, Bu,” jawab Ima cepat. Tak ingin mengecewakan ibu.
Begitulah sehari-hari Ima mendapat tugas bila sang ibu pergi
menebar ilmu mengaji di perumahan elit mentereng itu. Bu Inah tak berani
membawa serta Ima dan adiknya. Mungkin ingin bersikap profesional atau hanya
khawatir sorotan tajam mata anak-anak perumahan elit yang suka membuat Ira
menangis.
Kalau sudah dapat tugas dari ibu, kadang Ima seharian
bermain bersama sang adik. Kadang menyempatkan diri datang ke sekolah khusus
anak-anak kurang mampu yang masih berada di dalam kawasan terminal Kota Depok
tersebut, tentunya bersama adiknya. Atau berada di kios buku bekas milik mbah
Kodir, untuk hal yang satu ini hampir setiap waktu dilakukannya.
“Tidak untuk dibawa pulang,” ucap mbah Kodir lembut suatu
kali ketika Ima sepertinya tertarik akan suatu buku bergambar istana dan putri
salju yang hampir seluruhnya lecek itu. Tersirat dari mata mbah Kodir kalau
ingin sekali rasanya ia memberi buku bacaan baru yang tidak lecek dan
berantakan kepada Ima, sedih hati mbah Kodir bila ia tak sengaja melihat Ima
menata ulang halaman buku yang telah semrawut sebelum membacanya, lama, hingga
terkadang tidak jadi dibacanya karena banyak yang harus dirapihkan ulang.
Mbah Kodir pun mempunyai kesukaan yang sama dengan Ima,
gemar membaca. Karena alasan itu juga lah mengapa
ia membuka kios buku, meski hanya kios buku bekas sempit di pinggir terminal.
Ima sempat merasakan peringkat pertama di kelas empat sekolah
dasar di sebuah sekolah negeri favorit di Kota Depok ketika masih ada beasiswa
untuk anak miskin yang cerdas. Sekolah bagus ia menyebutnya. Hingga akhirnya
hanya harus meneruskan di sekolah terminal, tempat anak-anak kurang mampu
lainnya bersekolah. Sekolah yang benar-benar gratis tanpa perlu membayar
lantaran beasiswa tak sampai lagi kepadanya.
Hal itu tak membuatnya merasa malu, yang penting ia bisa
terus bersekolah, itu yang ada dalam pikiran
Ima. Meski teman-teman sewaktu ia masih berada di sekolah bagus itu terkadang
mengejeknya, tapi Ima sepertinya sibuk dengan hobinya membaca hingga tak
terlintas di pikirannya untuk merasa kesal apalagi dendam.
Mbah Kodir menjadi pahlawan ilmunya. Dari mbah Kodir yang
ternyata masih saudara jauh ibunya itu, Ima dapat mencerahkan otaknya yg memang
sudah cemerlang. Mbah Kodir selalu memberinya kesempatan membaca buku di
kiosnya, untuk Ima selalu gratis. Tidak perlu membeli atau menyewanya. Mbah
Kodir tidak punya anak, istrinya pun telah lama tiada.
“Ini ada buku bagus untuk kamu, Ima, tentang pengetahuan
umum, pasti kamu suka. Kamu boleh membacanya, tapi jangan sampai lecek ya!” Ucap
mah Kodir, memperkenalkan buku terbarunya kepada Ima, penuh semangat.
“Terima kasih Mbah Kodir, Ima akan baca sekarang,
tanpa lecek!” Ujar Ima sedikit berteriak, bersemangat, bangun dari posisi
duduknya dengan melompat kegirangan, matanya berbinar, senyumnya merekah
menyiratkan ketakjuban.
Meski buku-buku itu bekas, tapi mbah Kodir selalu pintar
menyulapnya menjadi buku yang layak baca kembali. Meski memang sudah lecek dan
kucel mbah Kodir tetap selalu mengingatkan Ima untuk tetap menjaganya. Hal itu
sangat berpengaruh untuk harga jual buku bekas tersebut.
Semakin tampilannya bagus akan semakin berani orang
membelinya dengan harga mahal. Kalau perlu mbah Kodir seterika untuk meluruskan
kertas-kertasnya. Yang pastinya Ima selalu membantu membuat penampilan buku
bekas mbah Kodir hingga menjadi layak baca kembali, tentunya dengan upah
membaca gratis setiap harinya.
Ima merasa menjadi anak paling beruntung di dunia meski ia
tak bisa merasakan kembali duduk di bangku sekolah yang mahal, karena
menurutnya dengan hanya membaca saja ia sudah merasa bisa menjadi pintar dan
bahagia. Tak banyak memang anak yang seberuntung Ima. Banyak anak orang kaya seperti
Wulan misalnya, teman sekelasnya dulu, yang bisa membeli puluhan bahkan ratusan
buku bagus, tapi malas membaca.
Ada juga anak cerdas seperti Deon yang tidak punya banyak
kesempatan membaca gratis di kios mbah Kodir karena memang tidak kenal dengan mbah
Kodir. Hal-hal seperti itu yang membuat Ima
bersyukur. Deon yang mengambil alih peringkat kelasnya setelah Ima tidak lagi
berada di sekolah bagus itu. Deon anak yang baik, ingin rasanya Ima
memperkenalkannya dengan mbah Kodir kalau saja rumahnya dekat. Ia selalu terus
bersyukur hingga Tuhan memberinya kebahagiaan, meski hanya sebuah kebahagiaan
dari buku bekas milik mbah Kodir.
“Tiiinn, tiiinn, tiiinn….” Terdengar klakson mobil angkot bang
Jaki membuyarkan lamunan Ima. Betapa kagetnya Ima demi mendapati Ira yang
terjatuh.
“Hati-hati Ima, Adikmu bisa terlindas mobil Abang!” ujar
Bang Jaki kesal, mengernyitkan dahinya hingga
beradu lah kedua alisnya.
“Iya Bang, maafkan Ima,” ucap Ima kaget, tangan kanannya menarik lengan Ira yang lemah dengan
sigap. Ira sedang demam hingga membuatnya linglung.
“Copet …copet!” Teriak seorang ibu tengah baya, seorang
preman yang masih asing bagi Ima berlari tunggang langgang. Kali ini lolos,
wajah ibu itu terkulai lemas demi mendapati tasnya yang tergeletak tanpa dompet
di dalamnya. Kasihan. Anak perempuannya juga ternyata kecopetan barang bawaan
belanjaannya yang baru saja berbelanja di pusat perbelanjaan Kota Depok.
“Satu kotak handphone
yang baru saja dibeli dan buku novel terbaru,” kata gadis itu menjelaskan pada pak
Polisi yang menghampiri mereka.
Kehidupan di terminal membuat Ima hafal benar wajah semua
penghuninya, bahkan sampai preman dan pengemis pun Ima hapal. Ia belum juga
menemukan siapa pemilik wajah asing pencopet tadi siang. “Pastilah preman itu
bukan berasal dari terminal ini,” pikirnya.
Rasa kagetnya kali ini ditambah dengan rasa kekecewaannya
yang tidak bisa melakukan ritual hariannya membaca di kios Mbah Kodir. Hal itu
lantaran Ima harus menjaga Ira yang demam di rumah papan mereka.
Pagi harinya Ira sudah bisa tersenyum. Ima berniat ke kios mbah
Kodir. Tidak buka, sepi. Ima memeriksa keadaan sekeliling sambil sesekali
mengamati orang-orang yang keluar dari wc umum yang berada tepat di samping
kios mbah Kodir. “Barangkali saja Mbah Kodir ada di wc umum terminal,” pikirnya
sekali lagi penuh harap.
“Memangnya Mbah Kodir salah apa?” Tanya Ima, terkesiap.
“Mbah Kodir disangka sebagai penadah para pencopet, ibu yang
kemarin kecopetan itu secara kebetulan menemukan buku anak gadisnya ada di kios
buku bekas Mbah Kodir, ada jejak gambar tempel hello kitty yang di tempelkan
oleh anaknya diluar buku itu, tak disangka ibu itu melaporkannya kepada
polisi,” jelas bang Jaki lagi.
Ima merasa seperti tersetrum listrik, terkesiap sejenak,
tidak terima dengan kenyatan itu. Terlebih ia yakin kalau mbah Kodir tidak
bersalah. “Bukannya Bang Jaki juga tahu kalau pencopet itu bukan orang wilayah
terminal sini, jadi gak mungkin pencopet itu teman Mbah Kodir,” ucap Ima mulai
resah. Hawa dingin mulai menyeruak di dirinya. Cemas.
Tanpa permisi Ima langsung berlari secepat kilat, tujuannya
adalah kantor polisi terdekat, yang ada di pikirannya adalah mbah Kodir, hanya mbah
Kodir, hingga ia tak menyadari ada taksi yang melesat cepat melintas tepat ke
arahnya
dan akhirnya terjadilah peristiwa yang tak terelakkan,
Ima tertabrak mobil.
Gelap, pekat, Ima
merasakan sekujur tubuhnya dipenuhi cairan amis. Matanya masih terpejam
namun bau darah segar menusuk-nusuk hidungnya, merobek syaraf-syaraf pembau
yang ada di selubung otaknya. Hening.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu spontan menolong
Ima. Di rumah sakit daerah Kota Depok Ima dirawat. Ia mengalami cedera tulang
di bagian lengan kirinya dan beberapa luka di sekujur tubuh mungilnya, butuh
waktu yang tidak sedikit untuk memulihkannya.
Orang-orang yang menolong menyatakan kalau korban tabrak
lari itu telah meninggal, namun para suster membawanya kepada dokter di ruang
UGD untuk memastikan. Secara tak sengaja Ima mengamati wajah pasien baru itu
yang melintas tepat dihadapannya,
“Pencopet itu... itu... itu... pencopet yang sesungguhnya!” Teriak
Ima lantang namun para suster tak menggubris dan tak meyadari karena tengah
larut dalam tugas kemanusiaan mereka. Mereka berlalu dengan cepatnya seperti
tak mendengar teriakan Ima.
”Pencopet aslinya telah mendapat balasan dari Tuhan,” ucap
Ibu lirih.
“Percuma kalau tidak ada bukti, Abang juga sudah mencoba
menjelaskan, Abang kehilangan setoran angkot tadi malam demi menemani Mbah
Kodir diinterogasi Polisi, Mbah Kodir lagi apes tidak ada yang percaya.
Satu-satunya jalan ya kalau ibu yang dicopet itu mencabut tuntutannya,” jelas Bang Jaki.
“Dimana ibu itu tinggal?” Tanya Ima lagi, mulai emosi.
“Ternyata Ibu itu juga bukan orang sini, yang Abang tahu dia
mengatakan di depan polisi kalau dia sedang
berkunjung ke rumah saudaranya di perumahan elit depan terminal ini, kalau
tidak salah nama ibu di perumahan itu Ibu Ridwan,” ucap bang Jaki mulai
memasang wajah seriusnya.
“Bu Ridwan yang selalu menggunakan pakaian kebaya?” Pertanyaan
bu Inah memotong pembicaraan Ima dan bang Jaki,
“Iya, benar Bu, kok Ibu tahu? Apa Ibu mengenalnya?” Tanya bang
Jaki menyelidik bak intel.
“Sepertinya begitu, saya mengajari putrinya mengaji, ada
baiknya kalau saya ke rumah Bu Ridwan, mungkin pendapat saya bisa didengar
olehnya,” ucap bu Inah membuat keresahan Ima sedikit mereda.
“Ima ikut Bu!” Teriak Ima penuh semangat serasa tak terjadi
apa-apa dengan lengan kirinya. Matanya berbinar, senyumnya mulai terbit, merasa
mendapat secercah harapan untuk membebaskan mbah Kodir.
Tak berapa lama setelah mereka meminta izin pada perawat. Bersyukurnya
perawat menaruh simpati akan cerita Ima dan mengizinkannya untuk keluar
beberapa waktu. Mereka pun bergegas ke rumah bu Ridwan.
Tak butuh waktu lama, dengan gayanya yang lembut dan
bersahaja bu Inah berhasil menarik simpati bu Rina, saudara dari bu Ridwan, ibu
yang kecopetan itu. Setidaknya mereka tidak akan memproses tuntutan mereka
lebih jauh. Mereka percaya dengan bu Inah, terlebih bu Inah adalah guru mengaji
Mira, putri semata wayang bu Ridwan.
“Oh, betapa Ibu memang seorang yang pantas dipercaya,” ucap
Ima dalam hati. Baru kali ini Ima merasakan dengan sangat kalau ibunya
benar-benar menjelma menjadi malaikat penolong. Hanya dalam hitungan menit
mereka meluncur ke Polsek Kota Depok
“Jadi, anak ini yang Bapak maksudkan itu?” Tanya pak Polisi
kepada mbah Kodir sambil memandang Ima, lantas tersenyum lega.
“Apa maksud Pak Polisi bertanya seperti itu?” Tanya ibu Inah
cepat.
“Menurut penjelasan Mbah Kodir bahwa ia mengambil buku yang
hampir dibuang oleh seseorang ke dalam tong sampah untuk anak yang bernama Ima.
Kami sedang memproses alasannya itu. Meski kami percaya, tapi semua perlu
proses. Alhamdulillah kalian sudah bisa mencabut tuntutan, jadi tidak perlu ada
pemeriksaan lebih lanjut lagi,” jelas pak Polisi kepada mereka semua.
“Maksudnya, buku itu untuk anak saya, Ima?” Tanya bu Inah
memastikan.
“Ya Bu Inah, saya sudah tanyakan pada pemuda yang tidak saya
kira seorang pencopet itu, saya mengatakan kalau sebaiknya buku itu untuk saya
saja daripada dibuang, pemuda itu mempersilahkan karena katanya ia tidak suka
akan buku yang dihadiahkan temannya itu. Hanya itu saja. Yang ada dalam pikiran saya saat itu cuma buku untuk Ima, masih baru dan
disegel meski memang ada gambar tempel hello kitty nya dibagian plastik pembungkus,
saya pikir Ima pasti suka. Toh Ima gak pernah baca buku baru, yang lecek- lecek
saja dari toko buku bekas saya,” jelas mbah Kodir pelan kepada bu Inah sambil
menatap Ima tulus.
“Jadi…semua penjelasannya mbah Kodir itu benar adanya ya? Maafkan
kami. Semalam Mbah Kodir bercerita banyak tentang gadis kecil, yang ternyata
kamu, Ima. Kami pikir itu hanya alasannya saja untuk berkelit dari jerat
hukum,” ucap gadis pemilik buku itu, ada sebongkah penyesalan tersirat di mata beningnya.
“Ya, maafkan kami,” ucap bu Rina menambahkan, ikut menunduk
malu.
Ima terharu, tak disangka semua yang dilakukan mbah Kodir
karena semata untuk dirinya. Meski semuanya berakhir baik tapi tetap saja Ima
meneteskan beberapa butir air mata. Sekuat-kuatnya Ima menahan kesedihan di
hidupnya tapi tidak untuk rasa haru akan kebaikan mbah Kodir kepadanya.
“Maafkan Mbah ya Ima, Mbah tidak bermaksud memberikan kamu
buku curian, Mbah benar- benar tidak tahu kalau ternyata itu buku curian.” Ucap
mbah Kodir tulus.
“Buku ini akan tetap menjadi milikmu Ima, seperti niat awal
Mbah Kodir.” Ucap gadis pemilik buku itu yang baru Ima tahu ternyata bernama
Dea.
Ima tersenyum, kali ini bukan karena sebuah buku dimana ia
sangat gemar membacanya, tapi tentunya karena bebasnya mbah Kodir. Tersenyum
akan ketulusan mbah Kodir yang selalu mendukungnya membaca. Ima tak akan pernah
melupakan peristiwa itu. Ia menatap buku yang menjadi permasalahan selama ini.
Senyumnya merekah melihat gambar Hello Kitty yang seraya membalas senyuman
indahnya itu.
Mbaaak lucu banget kartunnya
BalasHapusthanks, itu pakai pinterest
HapusItu design gambarnya pake canva juga, Mbak? Kok,bagus banget.
BalasHapusiya pinterest gabung canva
Hapusduh aku salfok sama gambar-gambarnya, ini mesti dah pakai canva pro yah ><
BalasHapusngga kok, pake canva campur pinterest
BalasHapusmasya Allah kisahnya luar biasa, ima gadis kecil meski dalam keterbatasan tapi tetap bahagia dengan membaca. semoga anak-anakku juga suka baca.
BalasHapusSelalu tersenyum ya Ima :)
BalasHapuskartunnya bagus mba, berapa jam bikin kayak gitu kalau boleh tau?
BalasHapusga tentu mba, tergantung, klo kebawa suasana coba2 beragam gambar jadi lamaaaa, tp klo sdh ada gambar yg pasti bisa cepat sekitaran 20 menitan upload2 gambar n edit2 kata dll
Hapus